Rabu, 26 September 2007

Bank Syariah Harusnya Mempermudah - Rahmatan Lil Alamiin

 


 


Ada yang mengatakan bahwa Grameen Bank yang dikelola pemenang Nobel Muhammad Yunus di Bangladesh bukan Bank Syari’ah. Namun saya melihat Grameen Bank pada beberapa sisi justru lebih Islami daripada sebagian Bank Syariah yang ada di Indonesia.



Pertama Grameen Bank tidak membutuhkan jaminan. Jadi orang miskin, khususnya wanita, bisa meminjam tanpa perlu memberi jaminan. Nah di Indonesia, jangankan tanpa jaminan, rumah di dalam gang saja ada bank Syariah yang tidak mau menerima sebagai jaminan. Hebatnya meski tanpa jaminan, tingkat pengembalian nasabah Grameen Bank tetap tinggi!



Padahal Islam itu bukankah mempermudah? Bukan mempersulit? Sebagai contoh, ketika ummat Islam harus membayar untuk mendapatkan air dari orang Yahudi, Nabi segera meminta sahabat untuk membeli sumur air tersebut. Akhirnya rakyat bisa mengambil air dengan gratis. Itulah Islam yang diajarkan Nabi!



Kenyataannya justru bank Syariah kerap lebih mahal pengembaliannya daripada Bank Konvensional. Sebagai contoh untuk pinjaman rp 50 juta dalam tempo 10 tahun, total pinjaman yang harus dikembalikan di BCA hanya rp 98 juta. Sementara di satu Bank Syariah ternyata rp 146 juta. Meski menurut staf Bank Syariah nilai tersebut tidak bakalan naik, tapi justru bisa kurang. Tapi seandainya kurang jadi rp 120 juta, kan tetap lebih besar dan memberatkan ketimbang Bank Konvensional?



Hebatnya lagi, pinjaman di Grameen Bank benar2 dirasakan manfaatnya bagi rakyat banyak. Sekitar 50 juta orang merasakannya dan mereka terlepas dari kemiskinan yang akut. Pinjaman yang diberikan tidak banyak. Pertama pada tahun 1974 hanya US$ 27 ke 42 keluarga. Satu orang dipinjami kurang dari 1 dollar!



Nah kira2 sudah adakah Bank Syariah di Indonesia yang menjadi Bank bagi rakyat miskin seperti Grameen Bank?



”Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” [Al Baqarah:280]



”Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah…” [Al Baqarah:276]



Dari ayat di atas jelas Allah memerintahkan kita untuk mempermudah. Bahkan sampai ke tingkat sedekah. Jadi meski tidak mampu memberi sedekah, harusnya Bank Syariah bisa lebih ringan pembayarannya ketimbang Bank Konvensional. Bukan karena memanfaatkan sentimen agama, akhirnya besar pengembalian pinjaman justru lebih tinggi/berat dari Bank Biasa.


Kelompok Bank Syariah kerap menyebut Bank Konvensional sebagai riba. Apalagi didukung Fatwa MUI bahwa menggunakan Bank Konvensional adalah haram karena riba. Tapi jika prakteknya Bank Syariah justru lebih besar pengembaliannya hingga lebih memberatkan nasabahnya dibanding Bank Riba, lama-lama rakyat akan beranggapan kok Bank Syariah lebih buruk dari Bank Riba? Kok Bank Syariah lebih eksploitatif/memberatkan (meski katanya sesuai syar’i) ketimbang Bank Riba? Ini akan mencoret citra Islam yang harusnya sebagaimana disunnahkan Nabi dan tercantum dalam Al Qur’an justru untuk memudahkan manusia atau rahmatan lil ‘alamiin.


Bank Syariah harus memakai strategi lain. Bagi hasil sudah bagus. Cuma untuk pinjaman rumah masih seperti akal-akalan dengan Allah.



Misalkan harga rumah Rp 100 juta. Ceritanya Bank Syariah membeli rumah itu dan menjual ke nasabah seharga Rp 200 juta secara cicilan. Seharusnya Bank Syariah bisa menekan pengembalian dengan bekerjasama dengan Developer rumah. Misalkan harga rumah rp 100 juta, maka ke Bank Syariah diberi diskon sebagai marketing hingga Bank Syariah membeli seharga Rp 80 juta. Bank Syariah menjualnya ke nasabah dengan harga pasar Rp 100 juta (kas). Kalau cicilan meski bisa lebih besar, tapi tidak harus sebesar Bank Konvensional



Sekali lagi memang semua tergantung niat. Apakah niatnya Lillahi ta’ala atau hanya untuk mencari untung sebesar-besarnya. Kalau Muhammad Yunus dari Grameen Bank, saya menangkap kesan semangatnya yang tinggi untuk menolong rakyat miskin. Tak heran Grameen Bank disebut BANK FOR THE POOR.


Hasil Diskusi


Ada beberapa diskusi mengenai lebih besarnya pengembalian pinjaman kepada Bank Syari’ah ketimbang Bank Riba/Konvensional.


Pernyataan


Yang Halal memang lebih mahal dari yang haram. Contoh daging sapi dan daging kambing lebih mahal daripada daging babi. Oleh karena itu wajar jika besar pengembalian Bank Syari’ah lebih besar dari Bank Konvensional/Riba!


Jawaban


Dari yang dicontohkan Nabi, ternyata air yang sebelumnya dijual mahal oleh orang Yahudi, oleh Nabi dan Sahabat diberikan secara gratis. Air putih lebih murah ketimbang bir yang haram. Ke masjid lebih murah ketimbang ke Diskotik yang haram.


Surat Al Baqarah ayat 276, Allah melarang riba karena memberatkan dan menyuruh kita sedekah karena itu meringankan. Bukan membuat “Bank Syari’ah” yang ternyata lebih memberatkan dari Bank Riba. Bank Syari’ah harusnya lebih ringan dan memudahkan ketimbang Bank Riba.


Pernyataan


Wajar Bank Syari’ah lebih mahal sebab masih baru! Nanti kalau sudah banyak nasabah dan peminjamnya baru bisa lebih murah.


Jawaban


Ini pendapat yang keliru. Nabi dan para Sahabat meski Islam lebih baru ketimbang pengusaha Yahudi yang sudah mapan dan makmur bisa memberikan alternatif yang gratis bahkan sedekah. Jadi sejak awal Islam sudah lebih baik dari sistem yang lain. Bukan dari awal lebih buruk dari sistem ribawi. Secara bisnis juga itu akan merugikan Bank “Syari’ah” (saya beri tanda kutip, karena Bank Syari’ah yang sejati pasti lebih baik dari Bank Ribawi) itu sendiri.


Jepang bisa bersaing dengan AS dan Eropa di industri otomotif, elektronik, dsb karena pertama-tama harga mereka lebih murah/kompetitif. Meski secara kualitas kurang bagus, toh masyarakat lebih memilih produk Jepang. Akhirnya produk Jepang disukai dan kompetitif dari sisi kualitas dan harga. Produk Cina saat ini diminati karena harganya lebih murah. Kalau dari awal Jepang dan Cina memasang harga lebih tinggi, tentu tidak akan laku.


Nah seharusnya Bank Syari’ah seperti itu. Jika besar pengembalian pinjaman Bank Syari’ah jauh lebih besar dari Bank Ribawi, tentu masyarakat lebih memilih yang lebih ringan. Bank Syari’ah tidak akan laku dan berkembang jika besar pengembalian pinjamannya jauh lebih besar dari Bank Ribawi. Apalagi orang meminjam uang itu kan karena dia kekurangan uang/susah. Bukan kelebihan uang.


Allah melarang riba karena ingin meringankan orang yang berhutang. Jadi jika pegiat Bank Syari’ah membuat Bank Syari’ah yang lebih memberatkan dari Bank Ribawi, ini bertentangan dengan ajaran Allah.


Pernyataan


Bank Syari’ah meski pengembalian lebih besar dari Bank Riba tapi syar’ie karena merupakan jual-beli. Bukan riba


Jawaban.


“Innamal a’maalu bin niyaat” Sesungguhnya amal itu tergantung niat (muttafaq ‘alaihi). Jujur saja ketika orang ingin beli rumah dengan memakai kredit pinjaman, ketika dia ke Bank Syari’ah niatnya beli rumah dari Bank Syari’ah apa pinjam uang? Kemudian pemilik Bank Syari’ah ketika membuat Bank Syari’ah niatnya ingin memberikan pinjaman atau jual rumah? Mungkin kita bisa menipu manusia. Tapi Allah yang Maha Mengetahui tidak bisa ditipu seperti itu. Allah mengetahui niat kita.


Pada saat kita meminjam uang ke Bank Syari’ah, meski itu disebut jual-beli kalau pengembaliannya lebih besar dari Bank Riba tetap saja itu riba. Karena riba adalah tambahan yang harus dibayar atas pokok pinjaman.


Wal hasil, Bank Syari’ah hendaknya benar-benar merupakan Bank yang sesuai dengan syari’at Islam, yaitu mempermudah masyarakat dan benar-benar merupakan rahmatan lil ‘alamiin. Bukan lebih buruk dan memberatkan dari Bank Ribawi.


Agus Nizami


Beberapa diskusi di Milis Ekonomi Syari’ah



http://finance.groups.yahoo.com/group/ekonomi-syariah/message/10935


darmayuda yoedea yudamayang@…



kalaulah ekonomi syariah hanya mampu “mempecundangi” penganutnya dengan alasan halal haram, maka ekonomi syariah bukan merupakan solusi bagi ekonomi. toh dengan pernyataan tersebut seolah membenarkan bahwa perbankan syariah dibiarkan tidak efisien. pertanyaannya, model ekonomi seperti apa yang ingin ditawarkan ekonomi syariah jika memeang benar benar tidak kompetitif?


kita harus berani jujur, bahwa bank syariah saat ini tidak lebih kompettitif, kurang produktif dan tidak inovatif.



Ali Sakti:


kekecewaan & ketidaknyamanan terhadap bank syariah, tidak kemudian membuat bunga/riba menjadi halal! berikan saja kesempatan pada bank syariah kita untuk berkembang. lagipun masih sangat muda industri ini.



:-) niatan saya untuk bisa punya rumah belum tercapai pak, karena ya mahal beli rumah lewat bank syariah. ke bank konvensional? saya ga mau tau apa yang ditawarkan bank konvensional pak, karena yang saya tau riba itu haram! jadi bank konvensional bukan alternatif, bukan subtitusi, bukan pilihan… afwan. jadi ya, kapasitas saya baru bisa sekedar ngontrak aja :-) istilah seorang kawan: kalo belum bisa beli pizza (dengan cara halal tentu saja) untuk ngemil ya beli pisang goreng aja dulu hehehe…



http://finance.groups.yahoo.com/group/ekonomi-syariah/message/10977


“Deni Danasenjaya” <denids1@…>


Ada temuan menarik selama 10 tahun menjadi nasabah bank syariah:


1. Tingkat bagi hasil dana simpanan selalu menunjukkan kecenderungan +/- = suku bunga bank konvensional, saat suku bunga simpanan bertengger di kisaran 15 - 20% maka bagi hasil simpanan Bank Syariah juga berada di tingkat ini, saat suku bunga perbankan konvensional


saat ini bertengger di kisaran 3% - 7% maka bagi hasil simpanan Bank Syariah juga ada di tingkat ini, ini agak aneh buat saya, karena pada saat Bank Syariah “mampu” memberikan bagi hasil yang mendekati tingkat suku bunga perbankan konvensional di angka 15 - 20% saat itu


Bank Syariah tersebut baru berdiri, overhead cost pasti tinggi & lending masih rendah, saat ini dengan funding yang banyak & lending yang juga sudah banyak, kok bagi hasilnya juga tetap mengikuti trend suku bunga simpanan bank konvensional?, mestinya kan bagi hasilnya lebih tinggi jika lendingnya juga bagus.



2. Tingkat bagi hasil untuk produk lending sangat tinggi & lebih tinggi dibanding suku bunga pinjaman bank konvensional



http://finance.groups.yahoo.com/group/ekonomi-syariah/message/10961


“Wawan Ruswanto” <ruswanto@…>


Itulah informasi seputar beberapa komponen biaya, yang mungkin saja menjadi penyebab masih mahalnya lending rate di bank syariah. Jika bank syariah itu baru, maka biaya dana umumnya relatif mahal, begitu pula dengan biaya operasional karena volume bisnis masih rendah, dan risiko yang dihadapi juga relatif besar. Jadi sekarang kita bisa maklum, kenapa bank syariah lebih mahal…


 


 



http://en.wikipedia.org/wiki/Grameen_Bank


The Grameen Bank (Bangla: গ্রামীণ ব্যাংক) is a microfinance organization and community development bank started in Bangladesh that makes small loans (known as microcredit) to the impoverished without requiring collateral. The system is based on the idea that the poor have skills that are under-utilized. The bank also accepts deposits, provides other services, and runs several development-oriented businesses including fabric, telephone and energy companies. The organization and its founder, Muhammad Yunus, were jointly awarded the Nobel Peace Prize in 2006.[1]


History


Muhammad Yunus, the bank’s founder.


Muhammad Yunus, the bank’s founder, earned a doctorate in economics from Vanderbilt University in the United States. He was inspired during the terrible Bangladesh famine of 1974 to make a small loan of $27 to a group of 42 families so that they could create small items for sale without the burdens of predatory lending.[2] Yunus believed that making such loans available to a wide population could ameliorate the rampant rural poverty in Bangladesh.The leadership skills of Dr. Akhtar Hameed Khan (founder of Pakistan Academy for Rural Development now Bangladesh Academy for Rural Development)[3] proved a source of inspiration for Yunus to start Grameen Bank.



The Grameen Bank (literally, “Bank of the Villages”, in Bangla) is the outgrowth of Muhammad Yunus’ ideas. The bank began as a research project by Yunus and the Rural Economics Project at Bangladesh’s University of Chittagong to test his method for providing credit and banking services to the rural poor. In 1976, the village of Jobra and other villages surrounding the University of Chittagong became the first areas eligible for service from Grameen Bank. The Bank was immensely successful and the project, with government support, was introduced in 1979 to the Tangail District (to the north of the capital, Dhaka). The bank’s success continued and it soon spread to various other districts of Bangladesh and in 1983 it was transformed into an independent bank by the legislature of Bangladesh. Bankers from ShoreBank, a community development bank in Chicago, helped Yunus with the official incorporation of the bank under a grant from the Ford Foundation.[4] The bank’s repayment rate was hit following the 1998 flood of Bangladesh before recovering again in recent years.



The Bank today continues to expand across the nation and still provides small loans to the rural poor. As of mid-2006, Grameen Bank branches number over 2,100.[5] Its success has inspired similar projects around the world.



Application of microcredit


16 Decisions



1. We shall follow and advance the four principles of Grameen Bank: Discipline, Unity, Courage and Hard work – in all walks of our lives.


2. Prosperity we shall bring to our families.


3. We shall not live in dilapidated houses. We shall repair our houses and work towards constructing new houses at the earliest.


4. We shall grow vegetables all the year round. We shall eat plenty of them and sell the surplus.


5. During the plantation seasons, we shall plant as many seedlings as possible.


6. We shall plan to keep our families small. We shall minimize our expenditures. We shall look after our health.


7. We shall educate our children and ensure that they can earn to pay for their education.


8. We shall always keep our children and the environment clean.


9. We shall build and use pit-latrines.


10. We shall drink water from tubewells. If it is not available, we shall boil water or use alum.


11. We shall not take any dowry at our sons’ weddings, neither shall we give any dowry at our daughter’s wedding. We shall keep our centre free from the curse of dowry. We shall not practice child marriage.


12. We shall not inflict any injustice on anyone, neither shall we allow anyone to do so.


13. We shall collectively undertake bigger investments for higher incomes.


14. We shall always be ready to help each other. If anyone is in difficulty, we shall all help him or her.


15. If we come to know of any breach of discipline in any centre, we shall all go there and help restore discipline.


16. We shall take part in all social activities collectively.



Grameen Bank Building in Dhaka


Grameen Bank is best known for its system of solidarity lending. The Bank also incorporates a set of values embodied in Bangladesh by the Sixteen Decisions.[6]



The system is the basis for the microcredit and the self-help group system now at work in over 43 countries. Although each borrower must belong to a five-member group, the group is not required to give any guarantee for a loan to its member. Repayment responsibility solely rests on the individual borrower, while the group and the centre oversee that everyone behaves in a responsible way and none gets into repayment problem. There is no form of joint liability, i.e. group members are not responsible to pay on behalf of a defaulting member. (Mohammed Yunus) [7]



In a country in which few women may take out loans from large commercial banks, the fact that most (97%) loan recipients are women is a significant accomplishment. In other areas, Grameen’s track record has also been notable, with very high payback rates—over 98 percent. However, according to the Wall Street Journal, a fifth of the bank’s loans were more than a year overdue in 2001.[8] More than half of Grameen borrowers in Bangladesh (close to 50 million) have risen out of acute poverty thanks to their loan, as measured by such standards as having all children of school age in school, all household members eating three meals a day, a sanitary toilet, a rainproof house, clean drinking water and the ability to repay a 300 taka-a-week (around 4 USD) loan.

7 komentar:

  1. Hal di atas adalah pengalaman saya pribadi membandingkan besar pengembalian pinjaman kredit rumah di BCA dengan satu Bank Syari’ah.
    Pengalaman ini didiskusikan di milis Ekonomi Syariah di mana banyak pakar dan aktivis Ekonomi Syariah berkumpul, di antaranya ada pak Iwan Poncowinoto dan Aries Mufti.
    Boleh dikata semua peserta diskusi sepakat bahwa pengembalian di Bank Syari’ah justru lebih besar dari Bank Ribawi meski ada yang menulis bahwa di BSM hanya 2,5% lebih besar.
    Tapi silahkan pinjam sendiri uang ke Bank Syari’ah dan bandingkan dengan Bank Konvensional.
    Saya tidak ingin menjegal Bank Syari’ah.
    Tapi saya juga tidak ingin melihat Bank Syari’ah justru lebih buruk dan lebih memberatkan peminjamnya dari Bank Ribawi.
    Saya tidak ingin orang dengan kedok agama justru memberatkan masyarakat dan justru mencoreng nama Islam. Sehingga timbul kesan di masyarakat bahwa Ekonomi Islam lebih buruk dan mempersulit dari Ekonomi Ribawi.

    “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” [Al Baqarah:185]

    ”Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” [Al Baqarah:280]

    ”Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah…” [Al Baqarah:276]
    Agus Nizami

    BalasHapus
  2. saat ini sy masih menunggu bca syariah ....... harapannya seh bisa benar-benar syar'i kalau kita lihat keprofesionalannya walaupun sy sependapat setiap amal adalah tergantung dari niat ...... jadi biarpun hanya sekedar ikut trend emosional agama paling tidak dg keprofesionalannya mampu mengangkat citra islam "ekonomi syari'ah"

    sedikit cerita sebulan yg lalu sy mendatangani dua bank syariah dengan niat mau mengajukan kerjasama untuk modal usaha dengan harapan akan mendapat berkah jika seandainya sy bisa benar 2 menghindar dari riba "bank konvensional" namun ternyata sy harus pulang dengan perasaan sedih dan kecewa ...... bukan karena penolakan yg membuat sedih tapi ternyata pada akhirnya sy harus kembali ke "riba"

    yg tak habis fikir waktu itu sy bawa anggunan berupa surat tanah dalam bentuk Petok D sementara bank syari'ah hanya mau menerima Sertifikat ....... akhirnya karena sudah deadline terpaksa sy datang ke bank konvensional ....... anehnya ternyata mereka menyambut baik ketika sy ajukan cash flow padahal dengan jaminan yang sama dan hanya butuh 2 hari kerja sampai dana tsb cair


    akhirnya sy hanya bisa berharap semoga usaha yg sy jalankan bisa maju dan mendapat berkah walau tanpa bank syari'ah

    dan sy berazam insya Allah sekiranya dari hasil usaha sy ini sy diberi kelapangan sy niatkan sebagian harta tsb sy jadikan jaminan buat saudar 2 muslim yg punya jiwa wira usaha namun terkendala seperti saya. semoga Allah mengabulkan, amin

    BalasHapus
  3. Saat ini saya sedang belajar ekonomi dan keuangan syariah di sebuah PT di Jakarta. Saya sungguh kecewa mendapati Ilmu Ekonomi & keuangan Islam yang ditawarkan dan diajarkan jauh dari bayangan dan harapan saya. Sebelumnya memang saya terseret ephoria gegap gempitanya kemunculan bank syariah di Indonesia dan berniat mempelajarinya. Walhasil, buku teks acuan belum ada.(anda lah yang diharapkan mengembangkan ilmu ini , kata seorang dosennya??). Belum lagi masih simpang siurnya kehalalan produk bank syariah maupun investasi syariah. Makin mempelajari fiqh muamalah makin sedikit produk bank syariah yang saya percayai 100% halal. Mungkin seharusnya bank syariah mengeluarkan produk yang lebih 'khas' dan tampak asli keislamannya sehingga jelas halalnya, namun (bagaimana bisa bersaing dengan konvensional, jika tak mengikuti trend? ujar salah satu dosennya) Walahuallam, Saya tetap harus belajar dan menyelesaikan study saya. Insya Allah, jika lulus kelak saya akan coba menulis pemahaman saya tentang ekonomi dan keuangan Islam.

    BalasHapus
  4. Yang jelas Islam memang membahas juga masalah ekonomi seperti riba dan jual-beli yang disebut dalam Al Qur'an dan juga hadits.

    Mudah2an sebagai sarjana Ekonomi Islam bu Siti bisa memberikan pencerahan kepada ummat Ekonomi Islam yang sebenarnya yang berbeda jauh dengan sistem ekonomi Kapitalis/Neo Liberalis

    BalasHapus
  5. Bank syariah yang saya tahu hanya menonjolkan nama nama produknya dengan bahasa arab jadi terkesan syariah, padahal yang kita perlukan adalah system nya, adil tidak memberatkan, menolong/membantu dalam kesusahan. tidak berkesan membohongi. itu sepertinya belum ada dan masih jauh tuh...

    BalasHapus
  6. Memang benar juga..ternyata bank syariah di Indonesia SEMUANYA..SAYA TEKANKAN SEMUANYA Ternyata Lbih memberatkan dari bank konvensional, yang malu itu saya sebagai kaum muslim karena Bank syariah kok lebih mencekik leher..kalo untuk modal usaha, saya masih coba untuk menggunakan seadanya, walaupun mungkin saya masih miskin dibandingkan banyak pengusaha2 lainnya..walaupun banyak cobaan yang datang karena kendala modal..tapi saya dan kita tetap harus kaya dari syariat bukan dari laknat..agar dapat rahmat dan bisa memberi manfaat ke semua ummat

    BalasHapus
  7. Jangan heran bila perbankan syariah sangat mengecewakan ummat Islam karena, hakekatnya perbankan syariah itu adalah bank konvensional yang kapitalistik, tetap beroperasi dengan cara cara Islam, sehingga tidak pantas menyandang bank Islam. Mereka hanya peduli orang yang punya uang dan tidak terlintas pikiran mereka untuk mengurus orang miskin karena itu diluar pikiran mereka. Orang kaya diberi insentif makin enak karena yang dilihat adalah uang mereka.
    salam,
    Eddy Boekoesoe

    BalasHapus